ADAKAH NASIONALISME DALAM ISLAM ?*

Artikel ini berisi perdebatan tentang Islam dan Nasionalisme di kalangan intelektual Muslim. Ada tiga kelompok pensikapan umat Islam terhadap wacana nasionalisme yang pada awal kelahirannya dari Barat. Selamat membaca …

Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu (Lukman Ali, Dkk, 1994). Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir di”, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik (Michael A. Riff (ed), 1995).

Nasionalisme muncul pertama kali di Eropa, yang pada awal kelahirannya menghasilkan deklarasi hak-hak manusia. Namun seiring dengan perubahan jaman, nasionalisme berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas kemanusiaan. Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Perbincangan tentang nasionalisme di dunia Islam terjadi perdebatan yang tiada ujungnya. Munculnya nasionalisme diawali oleh gagasan pan-Islamisme yang telah berkembang sebelumnya dengan dipelopori oleh Al-Afghani. Dalam analisisnya, penyebab keruntuhan Islam dan kaum muslimin bukanlah kelemahan atau kekurangan internal kaum muslim, melainkan imperialisme agresif yang dilancarkan kristen Eropa, yang bertujuan untuk memperbudak kaum muslimin dan menghancurkan Islam.

Al-Tahtawi, teoritisi nasionalisme Arab yang paling berpengaruh menegaskan “patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, suatu sarana untuk mengatasi gap antara wilayah Islam dan Eropa. Beberapa pemikir awal Arab dan Turki menggagas nasionalisme yang murni berwatak Eropa modern dan sekular. Di Mesir muncul tokoh yang bernama Abdurrahman Al-Kawakibi yang dianggap sebagai ideolog utama nasionalisme Arab. Dan di Turki terdapat Ziya Gokalp, sang penulis utama nasionalisme Turki. Keduanya mengambil gagasan nasionalisme dari sumber yang sama, Eropa. Mereka yakin bahwa nasionalisme model Eropalah yang dapat dijadikan energi untuk melakukan perubahan sosial dan politik di dunia Islam.

Di pihak lain, Ali Muhammad Naqvi secara tegas menyatakan Islam tidak kompatibel dengan nasionalisme karena keduanya saling berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebabagai basis bangunan komunitas sama sekali ditolak Islam. Basis-basis ini hanya bersifat nasional-lokal, sedangkan Islam mempunyai tujuan kesatuan universal. Selain itu karena spirit nasionalisme yang berupa sekularisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik. Naqvi percaya bahwa jika Islam yang berkembang maka nasionalisme akan padam, tetapi juga sebaliknya saat nasionalisme bangkit berarti kekalahan Islam.

Abdul Aziz bin Baz memperkuat argumen di atas dengan menyatakan bahwa nasionalisme adalah praktik-praktik jahiliyah yang jauh dari nilai-nilai Islam sehingga harus dihancukan.

Dalam khazanah intelektual dan pergerakan Islam, terdapat tokoh moderat bernama Hasan Al-Banna sebagai orang pertama yang secara komprehensif dan sistematis membincangkan tentang nasionalisme. Al-Banna membedakan antara konsep al-wathaniyah dan al-qawmiyah dalam menjelaskan arti kebangsaan. Al-wathaniyah sepadan dengan kata patriotisme yang berarti rasa cinta tahah air. Konsep ini merujuk pada ruang tertentu, tempat tinggal dan tanah tumpah darah. Keterikatan pada identitas given, atau dalam teori sosiologi sebagai status yang diperoleh (ascribed status), singkatnya adalah rasa memiliki negeri sendiri. Sedangkan al-qawmiyah lebih diartikan sebagai nasionalisme, yakni rasa berbangsa dan bernegara. Rasa memiliki kesatuan masyarakat politik yang dicapai dan diraih melalui perjuangan tertentu. Konsep ini mengacu pada orang atau sekelompok orang. Biasanya disatukan oleh satu ideologi, visi dan aspirasi tertentu untuk mencapai tujuan bersama.

Hasan Al-Banna merestorasi konsepsi awal patriotisme dan nasionalisme yang Eropa sentris dan berwatak sekular menjadi konsep yang telah diisi pemahaman baru sesuai Islam dan dimanfaatkan untuk kebangkitan Islam. Dalam kaidah ushul fikih, Al-Banna melakukan apa yang dikenal dengan “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Unsur-unsur terbaik dari patriotisme atau nasionalisme diserap dan dirumuskan untuk menjadi alat perjungan kebangkitan Islam.

Lebih lanjut, Hasan Al-Banna menguraikan perspektif nasionalisme dalam Islam dengan menegaskan bahwa motif-motif ideal nasionalisme sepenuhnya relevan dengan doktrin-doktrin Islam. Pandangan Hasan Al-Banna tentang nasionalisme diantaranya adalah:

Pertama, Nasionalisme Kerinduan. Jika yang dimaksud dengan nasionalisme oleh para penyerunya adalah cinta tanah air dan keberpihakan padanya dan kerinduan yang terus menggebu terhadapnya, maka hal itu sebenarnya sudah tertanam dalam fitrah manusia. Lebih dari itu Islam juga menganjurkan yang demikian. Sesungguhnya Bilal yang telah mengorbankan segalanya demi imannya, adalah juga Bilal yang suatu ketika di Madinah menyenandungkan bait-bait puisi kerinduan yang tulus terhadap tanah asalnya, Makkah.

Kedua, Nasionalisme Kehormatan dan kebebasan, yaitu nasionalisme dalam bentuk keharusan berjuang membebaskan tanah air dari cengkeraman imperialisme, mananamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putera-putera bangsa, maka kitapun sepakat tentang itu. Islam telah menegaskan perintah itu dengan setegas-tegasnya.

Ketiga, Nasionalisme Kemasyarakatakan. Yaitu nasionalisme dalam rangka memperkuat ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat atau warganegara serta menunjukkan kepada mereka cara-cara memanfaatkan ikatan itu untuk mencapai kepentingan bersama. Islam bahkan menganggap itu sebagai sebuah kewajiban. Lihatlah bagaimana Rasullalah saw bersabda, “Dan jadilah kalian hamba-hamba allah yang bersaudara.” (Al-Hadist)

Keempat, Nasionalisme Pembebasan. Yaitu nasionalisme dalam rangka membebaskan negeri-negeri lain dan menguasai dunia, maka itu pun telah diwajibkan oleh Islam. Islam bahkan mengarahkan pada pasukan pembebas untuk melakukan pembebasan yang paling berbekas.

Hasan Al-Banna melanjutkan, ”Sekarang dapat dilihat betapa kita berjalan seiring dengan para tokoh penyeru nasionalisme bahkan dengan para tokoh penyeru nasionalisme bahkan dengan kalangan radikal-sekuler diantara mereka. Kita sepakat dengan mereka terhadap nasionalisme dalam semua maknanya yang baik dan dapat mendatangkan manfaat bagi manusia dan tanah airnya. Sekarang juga telah terlihat, betapa paham nasionalisme dengan slogan dan yel-yel panjangnya, tidak lebih dari kenyataan bahwa ia merupakan bagian sangat kecil dari keseluruhan ajaran Islam yang agung.”

Yang membedakan Islam dengan mereka adalah bahwa batasan nasionalisme bagi Islam ditentukan oleh basis iman, sementara pada mereka batasan paham itu ditentukan oleh teritorial wilayah negara dan batas-batas geografis semata. Bagi Islam, setiap jengkal tanah di bumi ini, dimana di atasnya ada seroang muslim yang mengucapkan La ilaha illahllah, maka itulah tanah air Islam. Seorang muslim wajib menghormati kemuliaannya dan siap berjuang dengan tulus demi kebaikannya. Semua mulim dalam wilayah geografis manapun adalah saudara dan keluarga. Setiap muslim turut merasakan apa yang mereka rasakan dan memikirkan kepentingan-kepentingan mereka.

Sebaliknya, bagi kaum nasionalis (sempit) semua orang yang ada diluar batas tanah tumpah darahnya sama sekali tidak dipedulikan. Mereka hanya mengurus semua kepentingan yang terkait langsung dengan apa yang ada di dalam batas wilayahnya. Secara aplikatif perbedaan akan tampak lebih jelas ketika sebuah bangsa hendak memperkuat dirinya dengan cara yang merugikan bangsa lain. Islam sama sekali tidak membenarkan itu untuk diterapkan diatas sejengkal pun dari tanah air. Islam menginginkan kekuatan dan kemaslahatan untuk semua bangsa-bangsa muslim. Sementara kaum nasionalis menganggap yang demikian itu sebagai suatu kewajaran. Paham demikian inilah yang kemudian membuat ikatan di antara muslimin menjadi renggang dan kekuatannya pun melemah.

Ada kecenderungan, kaum nasionalis hanya berfikir untuk membebaskan negerinya. Bila kemudian mereka membangun negeri mereka, mereka hanya memperhatikan aspek-aspek fiisik seperti yang kini terjadi di daratan Eropa. Sebaliknya, setiap muslim percaya bahwa di leher mereka tergantung amanah besar untuk mengorbankan seluruh jiwa dan raga serta hartanya demi membimbing manusia menuju cahaya Islam. Setiap muslim harus mengangkat bendera Islam setinggi-tingginya di setiap belahan bumi; bukan untuk mendapatkan harta, popularitas dan kekuasaan atau menjajah bangsa lain, tapi semat-mata untuk memperoleh ridha Allah swt dan memakmurkan dunia dengan bimbingan agamanya. Itulah yang mendorong kaum Salaf yang saleh melakukan pembebesan-pembebasan suci yang telah mencengangkan dunia dan mempesonakan sejarah; dengan kecepatan gerak, keadilan dan keluhuran akhlaknya.

Sehingga jelaslah bahwa Islam dan nasionalisme bukan sesuatu yang bertentangan. Bahwa nilai-nilai nasionalisme ada dalam Islam, ia merupakan bagian kecil dari keseluruhan nilai Islam. Nasionalisme Islam berbasis pada iman, bukan hanya geografis dan etnis. Karenanya nasionalisme Islam bermakna luas, tidak sempit. Islam mendukung nasionalisme bila ia berdampak pada kemaslahatan ummat. Sedangkan unsur negatif dari nasionalisme (ekstrim) ditolak oleh Islam.

* dimuat dalam majalah ENHA edisi III agustus 2008