Nilai Moral Kekuasaan

FENOMENA PEMILUKADA, ETIKA POLITIK

DAN NILAI MORAL KEKUASAAN

“praktik politik dalam hal seni bernegosiasi dalam mewujudkan tatanan sosial yang baik dan tepat, perlu ditopang oleh budaya dan prilaku sehat yang bersendikan moralitas”. (Dale F. Eickelmen)

A.PENDAHULUAN

Memasuki PEMILU Kepala Daerah (PEMILUKADA) pada putaran kedua yaitu yang dilaksanakan tahun 2010 memperlihatkan fenomena menarik. Diantaranya, kenyataan politik menampakan bahwa ada beberapa kepala daerah yang telah menjabat dua kali periode sebagai Bupati/ Walikota, namun tetap ingin maju dalam pencalonan pimpinan daerah. Hal ini dilakukan agar tetap berada dalam tahta kekuasaan, walaupun harus turun jabatan menjadi wakil kepala daerah. Atau jika tidak dengan cara seperti itu, para mantan pimpinan daerah tersebut “merestui” istri atau anaknya maju dalam pencalonan tersebut. Bahkan ada Bupati yang dinyatakan telah gagal memimpin karena secara nyata tersangkut perkara korupsi tetap maju lagi.

Berbeda dengan di negara lain, misal para pejabat di negara Jepang. Ketika mereka tersangkut dengan perkara–walaupun sepele—, secara ksatria mengundurkan diri.

Dalam cerita pewayangan, ada seorang tokoh bernama Abiyasa, dikenal sebagai pemimpin yang Rancakaprawa (bijaksana) dan sutiknaprawa (empati terhadap penderitaan rakyatnya), serta bergelar Dewayana (seperti dewa). Dia adalah seorang raja yang tidak haus dengan kekuasaan. Ketika masa jabatannya selesai, jabatannya langsung diserahkan kepada Pandu sebagai penerus tahta kerajaan Astina.

Abiyasa lebih memilih untuk melakukan tapa di Wukir Retawu dan bergelar Begawan Abiyasa, hingga dikemudian waktu mampu mencapai tingkatan ngerti sadurunge winarah (mengerti kejadian yang akan datang/ futurolog). Namun, sekarang ini, para pejabat di indonesia, jangankan mengundurkan diri, untuk mengakui kesalahan dan kegagalan dalam mensejahterakan rakyat saja tidak dilakukan.

Fenomena di atas menjadi sebuah kajian baru dalam dinamika politik Indonesia, karena pada masa-masa sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Menurut pengamat politik UNDIP, Teguh Yuwono menyebutnya sebagai studi baru PEMILUKADA di Indonesia, mereka rela turun pangkat demi kekuasaan. Namun jika ditilik dari teori kekuasaan, menurutnya hal itu merupakan teori lama. Manusia mempunyai sifat purba untuk mempertahankan kekuasaannya selama-lamanya, dia tidak ingin kehilangan akses-akses yang di punya (Suara Merdeka, 18 Oktober 2010).

Secara legal formal apa yang mereka lakukan tidak menyalahi aturan yang ada. Karena dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya melarang seorang kepala Daerah menjabat lebih dari dua periode berturut-turut. Pada pasal 58 huruf (o) yang berbunyi, “calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Indonesia yang belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dua kali berturut-turut dalam jabatan yang sama.” Artinya undang-undang ini tidak melarang jika calon wakil kepala daerah itu sebelumnya adalah Kepala daerah baik pada daerah setempat maupun dari daerah lain. “secara hukum tidak ada yang salah, namun mereka harus melawan norma, etika, dan kepantasan berpolitik.

Tulisan lengkap dapat didownload di sini